[Cerpen] Kotak Kiriman Inen Muftiyah Ke Ketol

oleh

[Cerpen]  Salman Yoga S

 

            JAM sembilan pagi Inen Muftiyah belum juga muncul, sementara mobil jemputan ke Ketol bersama sejumlah teman sudah menunggu sejak tadi di depan pintu kantor. Aku mondar-mandir antara ruang kerja dan ruang tamu kantor, gelisah. Kekhawatiran semakin memuncak ketika suara klekson itu seperti menyumbat telinga, apakah terus menunggu Inen Muftiyah mengantarkan kiriman untuk anaknya atau langsung berangkat. Terlebih sopir itu juga terlihat kian tidak sabar menunggu, demikianpun dengan sejumlah teman yang gerah di dalamnya. Klekson disengajakan sebagai tanda kekesalan dan agar segera naik. Sudah tiga kali sopir itu bertindak serupa. Aku semakin bimbang apakah langsung pergi dan melupakan janji untuk membawa kiriman Inen Muftiyah? Setelah menunggu agak lama akhirnya aku putuskan untuk pergi saja.

Mobil carteran itu bergerak perlahan melewati tikungan kota. Tetapi beberapa meter berjalan sopir berpenampilan rapi itu mendadak menekan pedal remnya, seketika membuat seluruh penumpang terdorong kedepan. Dibalik kaca spion terlihat seorang ibu berlari mendekat dengan tergopoh-gopoh. Nafasnya berat, tertahan-tahan. Seperti segumpalan lendir akibat batuk yang telah menyumbat di tenggorokannya.

“Nak Amir ini bungkusan yang kujanjikan kemarin” jelasnya dengan nafas terengah-engah dari balik jendela mobil. Menyaksikan kesungguhannya menjulurkan bungkusan itu dengan susah payah, aku jadi tidak tega membiarkannya. Dengan sekali tarik pintu mobil itu terbuka, turun dan medekati sambil menengadahkan tangan menerima bungkusan kiriman itu.

“Tolong sampaikan kepada Marwan anakku. Tolong juga kau jaga kotak ini ya nak Mir, jangan sampai peot atau terkena air. Isinya memang tidak terlalu berharga, hanya tiga lembar foto keluarga serta beberapa helai pakaian, sedikit makanan dan beberapa judul buku yang ia butuhkan ”, pesannya penuh harap dengan suara agak parau.

Sambil menganguk aku terima kotak bungkusan mie instan itu. Mata Inen Muftiyah kusaksikan berkaca-kaca menahan air matanya yang sudah hampir jatuh mengalir. Keriput alis dan dahinya menyiratkan usia yang tak lagi muda. Tatapannya mengandung harapan yang dalam dan doa tulus, seakan anaknya Marwan tergambar jelas dalam lensa kaca mataku yang ia pandangi tak henti.

Untuk kesekian kalinya aku mengangguk, menyanggupi permohononannya untuk menyampaikan langsung kiriman itu kepada Mawan putra ketiganya. Mendengar itu, Inen Muftiyah langsung mendekap dan memelukku sambil berucap terimakasih berulang kali. Mungkin dalam bayangannya aku adalah Marwan. Atau seolah kiriman kotaknya itu telah diterima anaknya dengan anggukkan kepalaku. Entah kapan tertumpah, bahuku basah oleh air matanya. Desahnya yang tersisa dari engahan saat berlari tadi tertiup berat di daun telingaku. Hembusan nafasnya yang berat, terasa mengendus di rambutku. Oh…. jiwa yang penuh cinta.

Setelah mencium tangannya yang lemah dan berkerut, aku naik kembali ke mobil. Lambaian tangan yang menyewa satu setengah meter lapak jualan makananan kecil di Pasar Aceh itu terlihat di balik kaca spion. Bekas-bekas sisa perjuangan hidup yang berat seperti tertulis jelas di telapak tangannya, layu dan penuh urat membiru. Ia terus memandangi keberangkatanku sampai mobil itu menghilang di ujung jalan.

“Ah….hati seorang ibu!” desahku sambil mengusap beberapa butiran bening di pipi, yang baru kusadari setelah beberapa saat mobil melintasi batas kota. Hatiku semakin bertambah sedih, terlebih Inen Muftiyah sampai kotak kiriman itu ia berikan kepadaku ternyata ia belum mengetahui sama sekali tentang berita bencana gempa yang menimpa kota dimana anaknya menekuni hidup sebagai petani tebu dan kopi. “Kenapa bang?” tanya sopir yang ternyata ramah itu. “Tidak apa-apa, aku hanya haru menerima amanah ibu tua tadi!”. “Ooo jadi karena itu kita sampai menunggu lama?” tanyanya seakan mengandung penyesalan. “Betul…!” jawabku seadanya. Setidaknya dengan pertanyaan itu aku menjadi punya alasan kuat mengapa agak berlama-lama menjelang keberangkatan tadi. Rasa bersalahku kepada sopir dan sejumlah rekan-rekan lainnya seakan telah lunas terbayarkan. Dimana Inen Muftiyah demikian bersahaja dan penuh harap menitipkan kiriman untuk anaknya.

Mobil melaju meninggalkan kota bersyariat dengan kemaksiatan terselubung. Sopir yang belakangan kutau bernama Udin itu memang terlihat lincah dan hafal betul karakter setiap liku jalan, banyak tikungan tajam menanjak dan menurun. Semua terlalui dengan mulus, meskipun dibeberapa tempat masih terdapat bahu jalan yang longsor terbawa air dan kubangan membentuk kolam mini. Setir dikendalikannya dengan santai dan penuh kepekaan.

Tebing dan jurang dalam di kanan kiri jalan seperti mulut buaya yang selalu menganga. Konon dengan kondisi jalan seperti inilah Takengon dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata. Karena selain mempunyai danau Lut Tawar yang indah dengan suhu udara yang dingin serta sejuk, provinsi ini juga memiliki panorama yang teduh dan asri.

Mobil sewaan melaju mendahuli beberapa angkutan dan truk, meskipun duduk di depan aku sama sekali tidak menikmati perjalanan.  Pikiranku kembali ke belakang, mengingat cerita Ibu beberapa waktu yang lalu tentang kehidupan Inen Muftiyah yang cukup memperihatinkan. Dengan lapak kios satu setengah meter ia berusaha keras untuk dapat menghidupi keluarganya, termasuk membelanjai kuliah anak-anaknya di perguruan tinggi negeri ternama. Suaminya telah lama meninggal dunia akibat tertembak,  konon karena dicurigai terlibat dalam jaringan teroris. Tetapi dengan penuh ketabahan dan tanggungjawab sebagai seorang perempuan tua semua beban itu ia pikul sendiri.

Anaknya yang tertua memang telah menikah. Tetapi untuk meringankan sedikit beban Inen Muftiyah, anak sulungnya itu belum dapat diharapkan, demikian juga  dengan kedua anak Inen Muftiyah lainnya. Meskipun demikian, perempuan gigih itu tidak pernah mengeluh barang sedikitpun. Setiap surat yang datang dari anaknya, ia penuhi sebisanya.  Pesan Marwan dalam surat terakhirnya adalah seisi dari kotak yang kubawa.

 Dengan pekerjaan sebagai pedagang makanan kecil ditambah sedikit penghasilan dari jualan sayuran di salah satu kaki lima di pasar tradisional Inen Muftiyah selalu mengirim untuk anaknya. Tekatnya, anaknya kelak dapat hidup lebih baik dari hidupnya hari ini. Karena itu pulalah Inen Muftiyah tidak berkeberatan ketika setamat sekolah menengah putra-putrinya meminta untuk kuliah.

Kampung dan beberapa kota-kota kecil terlewati, aku tidak turun makan atau sekedar minum kopi di tempat mobil angkutan biasa beristirahat. Memasuki daerah kecmatan Timanggajah, Simpang Balik dan Belang Mancung mobil yang kami tumpangi mulai berjalan perlahan, memberi kesempatan bagi sejumlah pasang mata yang berada didalamnya saksikan dampak gempa. Tak ada yang berubah dari daerah ini, selain tumpukan matrial, orang-orang yang menenteng barang, rumah-rumah miring dan runtuh juga tenda-tenda pengungsi. Mendekati jantung ibu kota salah satu kecamatan mobil mendadak berhenti. “Ada apa bang?” tanyaku kepada sopir. “Kita sudah sampai” jawabnya pelan sambil menunjuk beberapa bangunan dan rumah penduduk yang telah roboh. “Itu rumah Marwan?“ tanyaku. “Ya betul menurut alamat yang diberikan Inen Muftiyah inilah alamat Marwan tinggal” lanjut sopir itu sembari mengambil kotak kecil itu dari bagasi. ”Tetapi apakah ia masih tinggal disana atau tidak saya tidak tau, karena rumah itu juga tidak berbeda dengan bangunan yang berada dikelilingnya, retak-retak dan nyaris runtuh”. Salah seorang yang berkebetulan berdiri persis didepan rumah itu memberitahukan bahwa Marwan dan sejumlah masyarakat lainnya sejak beberapa hari yang lalu telah mengungsi di salah satu tenda dekat lapangan sepak bola.

Dengan harapan sang penerimanya ada di tempat, kami bergegas menyusuri jalan berdebu mengikuti arah yang ditunjuk. Naik turun mobil dan beberapa kali bertanya kepada pengungsi dan relawan yang melintas, akhirnya kami sampai pada sebuah tenda berwarna hijau kebiru-biruan. Satu dua dan tiga kali ketukan pada besi penyangga, pintu yang terbuat dari terpal tebal itu belum ada yang membuka. Dengan ucapan salam pada ketukan kelima, seorang lelaki setengah baya muncul sambil mengibaskan pintu. Perasaanku was-was, takut jika telah terjadi  apa-apa dengan diri Marwan, terlebih dalam tenda itu terlihat sejumlah manusia yang terlentang kaku dalam bungkusan plastik kuning, serta sejumlah lainnya terbaring lemah. Penasaran dan dan kekhawatiranku memuncak ketika salah seorang dari mereka memanggil dan menyebut nama Marwan. Alhamdulillah pikirku, ternyata ia selamat. Sebab jika tidak, tentu kiriman Inen Muftiyah yang sejak dari tadi telah berada dalam tentengan tanganku tidak akan pernah sampai.

“Siapa Lukman …? Suara lelaki muda terdengar dari dalam. “Ini, ada yang mencarimu Wan” jawab lelaki berseragam putih itu sambil mempersilakan kami duduk di atas gelaran tikar pandan. Tak lama kemudian, seorang lelaki muda muncul dengan tongkat menjepit lengan. “Bang Qadri..!” tanya dan keheranan Marwan melihatku terduduk mengulum haru didepannya. Dengan melas hati kusodorkan kotak kiriman Inen Muftiyah, ibunya. Kepala dan sebelah pipi kanannya kulihat berperban putih dengan bercak-bercak merah darah di tengahnya. Setelah menerima bugkusan itu Marwanpun secara singkat menceritakan kejadian saat gempa pengguncang itu datang menggoyang kediamannya.

Aku tak bisa bayangkan, bagaimana perasaan Inen Muftiyah jika mengetahui anaknya Marwan sudah kehilangan sebelah kakinya. Betapa sedih perasaannya, betapa iba harapannya. Terlebih anak yang sangat diharapkannya tu kini telah kehilangan sebelah kakinya. Keyakinanku, Inen Muftiyah lebih kuat dan tabah dari yang aku ibakan. Ah… ibu Inen Muftiyah, alangkah ironinya kenyataan ini. Sambil menegakkan kepala aku tatap hamparan tanah Gayo yang berdebu. Amanah Inen Muftiyah telah kusampaikan dengan baik, dan telah pula diterima Marwan, sang matahari yang diharapkan akan bercahaya terang.

*          *          *

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.