Mereka Butuh Kepastian

oleh
Soberkan peta Kecamatan Ketol di lokasi gempa Serempah. (Kha A Zaghlul)

Gempa Gayo (bagian 4)

Catatan: Aman ZaiZa

Soberkan peta Kecamatan Ketol di lokasi gempa Serempah. (Kha A Zaghlul)
Sobekan peta Kecamatan Ketol di lokasi gempa Serempah. (Kha A Zaghlul)

“Mohon ibu, cepatlah bangun rumah kami, jangan biarkan kami terlalu lama di tenda”, ujar Sakdiah dalam melepaskan curahan hatinya kepada Istri Gubernur Aceh, Niazah Abd. Hamid, Jum’at (26/7/2013) yang datang ke lokasi pengungsi bersama beberapa istri pejabat teras Pemerintah Aceh.

“Ini musim kemarau ibu, debu yang berterbangan membuat sakit anak-anak kami,” keluh Sakdiah yang pasrah akan melalui lebaran idul fitri tahun ini di tenda bersama dengan pengungsi lainnya.(http://lintasgayo.co/2013/07/26/ini-curhat-ibu-pengungsi-kepada-istri-gubernur.html)

Itulah sekelumit, curahan hati (curhat) warga seorang ibu pengungsi korban gempa Gayo asal Kampung Bah Kecamatan Ketol, Sakdiah. Ungkapan perasaan wanita setengah baya ini tentunya, bukan unkapan pribadi semata, namun juga ungkapan perasaan banyak bahkan umumnya para pengungsi korban gempa.

Betapa tidak, hingga saat ini sudah memasuki 17 Ramadhan 1434 H atau kurang sepakan memasuki genap sebulan pascagempa sejak 2 Juli 2013 lalu. Massa tanggap darurat yang sudah berlalu sejak 3 Juli hingga 17 Juli, terkesan sebatas insidentil saja, dimana hanaya bantuan yang mengalir untuk korban gempa.

Sedangkan kini sudah memasuki masa transisi, sejak 17 Juli hingga 10 Agustus mendatang. Sifatnyapun masih seperti massa tanggap darurat saja, yakni hanya penyaluran bantuan dari berbagai pihak yang (masih) menaruh simpati. Selebihnya sulit bisa dirasakan oleh masyarakat korban gempa.

Selayaknya massa transisi ini sudah pada taraf action bentuk nyata apa yang harus dilakukan untuk meringankan beban para pengungsi korban gempa ini. Pemerintah provinsi (Pemprov) Aceh yang terkesan diam dan membiarkan masalah gempa ini berlalu dan berakhir begitu saja, tidak bisa disahuti hal yang sama oleh dua Pemerintah Kabupaten yang ada di Gayo yang terkena gempa ini.

Massa tanggap darurat yang digadang-gadang memiliki anggaran Rp64 miliar, terkesan laksana menyiram air ke pasir. Menyerab tiada bekas. Itupun kalau memang semuanya sudah terpakai, namun kalau tidak itu menjadi anggaran yang sia-sia.

Jika mau ekstrem, bisa dikatakan Gayo tak butuh lagi ungkapan iba dan belaskasian. Namun saat ini seharusnya sudah mulai ada bentuk konkrit dari apa yang dilakukan, minimal master plan pembangunan Gayo pascagempa. Dan itu harus bisa diimplemantasikan langsung di lapangan dan menyentuh hajat banyak masyarakat korban gempa.

Kalau semuanya menunggu masa rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab/rekon), tanpaknya akan ada benturan kepentingan. Terlebih lagi habis lebaran idul fitri ini nantinya merupakan fase hangat dalam perpolitikan di Indonesia.

Pemerintah (Provinsi dan kabupaten) seharusnya malu dengan semangat yang telah diperlihatkan masyarakat. Dimana, mereka kini sudah mulai membangun sendiri apa yang mereka butuhkan. Sebab, masyarakatpun tak  bisa berpangku tangan melihat kondisi kampung mereka yang luluh lantak.

Masyarakat korban gempa butuh kepastian, bukan harapan dan harapan yang terus mengalir tanpa ada ujung laksana aliran Krueng Peusangan yang mengaliri melintas perkampungan masyarakat, sedangkan masyarakat hanya bisa mencuci muka mereka didinginnya air tersebut. Lalu kemudian mau diapakan lagi?

Jangan sampai rasa pesimis itu muncul di tengah hati masyarakat. Sebab jika ini muncul, bukan tidak mungkin “bencana” lain akan timbul. Jika rasa pesimis itu muncul, maka akan berdampak pada hal-hal lainnya. Dalam hal ini efek domino akan berlaku.

Seperti diketahui, banyak sudah bantuan yang masuk baik langsung ke Pemkab Aceh Tengah dan Bener Meriah atau melalui Pemprov Aceh. Nilai bantuan yang kini jika dihitung mungkin sudah berhitung miliaran. Bayangkan saja, ada bantuan yang sampai Rp200.000.000 hingga terkecil bisa dikatakan Rp10.000.000,-.

Dengan bantuan dana tidak terlalu besar, kiasaran Rp50.000 sampai Rp100.000.000,- kiranya sudah bisa terbangun meunasah atau mersah bagi kampung-kampung tertentu. Tentunya, proses pembangunannya secara bertahap sesuai skala prioritas.

Untuk dana yang tidak terlalu besar ini, mungkin bisa dikelola langsung oleh masyarakat kampung, untuk membanguna mersah yang bangunannya kiranya bisa dibuat dari papan yang bisa diambil dari sisi-sisa gempa.

Ini hanya contoh kecil dengan kalkulasi anggaran yang juga tidak bergitu akurat. Namun intinya, jika ini bisa segara dilakukan hal-hal yang kecil, mengapa harus ditunggu pada masa rehab/rekon pasca 10 Agustus mendatang.

Sekali lagi, masyarakat butuh kepastian. Bukan janji atau harapan-harapan yang semakin membumbung. Disamping itu “wisata gempa” juga sudah harus dihilangkan secara berlahan, sebab, banyak harapan yang muncul sebagaimana sering di ungkapkan banyak pihak, bahwa para korban gempa itu bukanlah tontonan.

Seperti yang diutarakan Hasan warga Serempah dimana, setiap hari kampung mereka ramai dikunjungi orang yang ingin melihat lokasi gempa dari dekat. Dan mereka berjaga-jaga disana mengingatkan pengunjung agar berhati-hati menghindari kecelakaan.

Amatan LintasGayo dilokasi tersebut, kampung Bah dan Serempah terlihat sudah kosong dari penghuni. Suasana kampung berantakan dan muncul bau tak sedap. Diduga bau tersebut berasal dari bahan kain yang lembab.

Tunggu apa lagi, mari kita alihkan diskusi dan debat dan saling curiga menjadi kerja nyata. Kini saatnya action man!!…bersambung

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.