[Cerpen] Batu Kerikil dan Dendam Ahmed Sang Syahidin Cilik

oleh

Oleh: Sihabuddin*

            Ahmed memang dikenal pemberani, ini terlihat sejak ia masih berumur enam tahun, sifat ya mengalir dari ayahnya bahkan perawakannya sama. Ayahnya meninggal ketika telibat pertempuran dengan tentara Israel. waktu itu Ahmed masih berumur delapan tahun. Sejak saat itu benih kebencian terhadap tentara Israel muncul, namun tidak sebesar setelah kematian kedua kakaknya. Sejak saat itulah, Ahmed selalu melemparkan batu jika bertemu dengan tentara Israel.

            “Tentara Israel memang biadab. Ku harus membalas kematian kedua kakakku!!!” kata Ahmed di sela-sela isak tangisnya, sambil bersandar di balik reruntuhan bangunan kampus dimana kedua kakanya menuntut ilmu. Kedua kakaknya meninggal setelah serangan udara tentara Israel secara bertubi-tubi. Sedangkan ibunya hanya diam mematung sambil berlinangan air mata. Betapa sakit hatinya. Tak satupun ibu yang rela melihat anaknya meninggal dalam keadaan mengenaskan. Padahal sebentar lagi anak yang paling tua akan menjadi sarjana sedangkan yang kedua masih semester empat.

            Tiga jam setelah kejadian, keadaan kembali seperti semula. Sepuluh mayat termasuk kedua kakak Ahmed telah dikafani. Kejadian seperti itu dianggap biasa oleh penduduk Palestina karena kerap terjadi.

            “Ahmed, mau kemana nak?” Ahmed terdiam sesaat, tak lama kemudian langsung menjawab pertanyaan ibunya.

            “Mau bergabung dengan pasukan Mujahidin untuk menuntun balas kematian bangsa Palestina dan keluarga kita bu!!!”

            “Memangnya kamu bisa apa? Kamu masih kecil. Apalagi kamu tidak memiliki senjata untuk melindungimu,” suasana hening. Ahmed dan ibunya mematung. Hanya jam jam dinding yang tetap bergerak yang bergelantung di dinding rumahnya.

            “Apakah kamu mau menjadi korban tentara biadab itu? Tambah ibunya. Mendengar nasehat ibunya. Nyali Ahmed agak menciut. Terlihat dari wajahnya yang tidak berapi-api lagi.

            “Ibu, maafkan Ahmed. Ahmed tidak bisa menuruti perintah ibu. Ahmed tahu, ibu sangat sayang sama Ahmed. Ibu takut Ahmed mati sia-sia kan?” ucapan ibunya hanya bisa menciutkan nyali Ahmed dalam waktu yang sangat singkat.

            “Iya, betul nak. Tapi, bukan itu maksud ibu. Kalau kamu mati, kamu tidak akan mati sia-sia. Kamu akan mati syahid nak. Tapi kamu masih terlalu dini untuk bergabung dengan pasukan Mujahidin. Ibu takut kehilangan anak lagi. Ibu ingin setelah besar nanti kau menikah dan mempunyai anak,” tanpa terasa sambil berucap demikian air matanya menetes.  Suasana kembali hening lama tidak ada kata-kata.

            “Maaf bu, bukanya ibu sendiri yang bilang kalau kematian seseorang telah ditentukan oleh Allah,”

            “Tidak ada salahnya kan? Kalau Ahmed bergabung dengan pasukan Mujahidin. Karena Ahmed bercita-cita seperti anak-anak Palestina lainnya. Ahmed ingin mengusir mereka dari negeri ini bu. Ahmed ingin negeri ini merdeka dari orang-orang keparat itu. Meski hanya dengan batu kerikil. Ahmed yakin suatu saat nanti negeri ini akan merdeka. Batu dan kerikil itulah salah satu bentuk perlawanan Ahmed dan kawan-kawan terhadap negeri Zionis,” mendengar penjelasan Ahmed, ia pun tertegun. Tersirat rasa kebanggaan pada anaknya. Namun, sebagai orang tua ia tidak rela melihat anaknya mati secara mengenaskan. Apalagi di tangan pasukan yang selama telah memporak-porandakan negerinya.

            “Bukan cuman untuk anak-anak ibu saja, tapi untuk semua warga Palestina. Karena Ahmed adalah Palestina dan Palestina adalah Ahmed,” mendengar perkataan anaknya ia semakin tahu betapa besar cinta anaknya pada negerinya.

            “Kalau untuk kemerdekaan Palestina bukan cuman ibu dan kamu yang mendoakan nak, kakek dan nenek kamu juga demikian. Sebelum mereka meninggal mereka berpesan pada jangan pernah lupa untuk mendoakan kemerdekaan negeri ini. Ibu yakin tidak hanya warga Palestina yang mendoakan kemerdekaan Palestina. Saudara-saudara kita yang ada di Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Qatar, Mesir, Maroko, Lebanon, Pakistan, Bosnia Herzigovina dan di belahan bumi lainnya selalu mendoakan kemerdekaan negeri ini. Karena bagaimanapun negeri ini adalah negeri para Nabi. Di negeri ini pula, terdapat masjid yang disucikan  nomor tiga setelah Masjidil Haram di Mekah, dan Masjid Nabawi di Madinah oleh agama kita. Dan Masjid al-Aqsha pernah menjadi kiblat sholat umat Islam sebelum Kabah di Mekah. Jadi wajar kalau mereka tidak rela negeri ini dijadikan ladang pembantaian saudara-saudaranya,” suasana mulai mencair, tangis wanita itu mulai mereda.

            “Kalau begitu terserah kamu saja nak. Tapi, jagalah dirimu baik-baik,” suara wanita itu terdengan parau. Terlihat jelas di wajahnya kalau ia sangat mengkhawatirkan anak ketiganya. Ahmed tahu itu. Tapi, ia tidak menghiraukan. Yang penting ibunya sudah mengatakan demikian. Lalu ia memeluk ibu dan adik perempuannya sejak tadi mendengarkan pembicaraan.

Siang itu pasukan tentara Israel dengan gagahnya berpatroli ke rumah-rumah penduduk dengan menggunakan tank-tank dan peralatan lengkap. Mereka penakut dan pengecut. Beraninya datang bersama-sama, mereka takut datang satu persatu. Tidak diketahui pasti apa motif mereka disiang menyengat ini mendatangi rumah-rumah penduduk.

Melihat pasukan tentara Israel sudah berada di rumah-rumah penduduk, pasukan Mujahidin langsung siaga satu. Mereka bersembunyi di balik reruntuhan bangunan. Yang pasti, jika ada salah satu dari mereka melukai salah seorang penduduk. Mereka tidak segan membalasnya dengan ribuan batu dan senjata rakitan.

Seperti pasukan Mujahidin yang lainnya, Ahmed dan teman sebayanya juga bersembunyi di balik reruntuhan yang terpisah dengan golongan dewasa. Tapi, jaraknya dekat. Mereka sedari tadi sudah mengumpulkan batu dan kerikil serta ketapel yang sudah siap menggempur wajah tentara Israel. Melihat dari senjata jelas pasukan mujahidin kalah jauh dengan pasukan Israel. Pasukan Israel menggunakan senjata yang berkemampuan AK 47, tank RPG, ribuan ton bom canggih buatan AS dan senjata lainnya. Namun, kehebatan nyali mereka melebihi kehebatan senjata-senjata mereka yang dikenal super top.

Tentara Israel menyebar beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua puluh orang. Mereka menggedor setiap  pintu rumah tanpa salam dan permisi. Mereka memang seperti binatang. Masuk rumah orang tanpa aturan. Tak satupun penduduk bersedia membuka pintu. Karena mereka tahu jika ini dilakukan sama seperti menghantar ajal. Akhirnya pasukan Israel mendobrak semua pintu.

Door…..door……..door……… suara tembakan dari salah satu rumah. Dari rumah itu terdengar tangis anak kecil dan jeritan beberapa wanita. Tanpa dikomando pasukan Mujahidin membalas. Door…door…….door, tembakan terdengar kembali. Di balik reruntuhan bangunan pasukan Mujahidin menembak. Beberapa pasukan Israel mati.

Merasa terhina, pasukan Israel menggunakan tank-tank serta senjata yang sudah dikenal paling top. Kedua pasukan saling menyerang. Saat tank-tank itu mulai berjalan ribuan kerikil dan batu melayang mengenai wajah mereka. Banyak diantara mereka  yang terluka wajahnya. Namun mereka tetap menyerang. Mereka tidak hanya menyerang pasukan Mujahidin. Tapi, juga bangunan-bangunan yang masih berdiri kokoh.

Tidak puas menghancurkan beberapa banguanan, mereka menuju pasukan anak-anak yang melempari mereka dengan kerikil. Anak-anak tetap melempari mereka dengan ratusan batu. Nyali mereka tidak pernah ciut meskipun yang dihadapinya tidak sepadan. Bahkan salah satu mereka berani berhadapan langsung. Meski hanya anak kecil dan bersenjatakan batu, pasukan Israel dibuat kebingungan.

Perang berlangsung heroic, korbanpun berjatuhan. Meski persenjataan tidak sebanding perang berlangsung imbang. Bahkan bisa dikatakan pasukan Mujahidin lebih unggul. Saat persenjataan pasukan Israel mulai habis merekapun pulang dengan kepala tertunduk. Sebab perang kali ini, korban lebih banyak dari pasukan Israel. Setelah berakhir pasukan Mujahidin serta masyarakat menolong korban diantara puing-puing bangunan. Di situ ada Ahmed, anak kecil sang pemberani, kini sudah tidak bernyawa dengan luka tembak di kepala, wajahnya senyum dan bau harum menguap dari jasadnya. (Kurator LG-007)

Surabaya, 17 Mei 2013

SihabuddinSihabuddin,  adalah mahasiswa Public Relations Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya. Alumni Pondok Pesantren Mambaul-Ulum Bata-Bata Pamekasan. Karyanya telah dimuat di Jawa Pos, Kompas Kampus, Annida on-Line, Koran Jakarta, Lintas Gayo Online, dan Harian Surya.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.