Kopi Konservasi, Mengais Rezeki dari Bumi Lestari

oleh

Oleh : Muhammad Syukri*

Ilustrasi : Kebun Kopi Arabika Gayo

Bagi petani di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, tanaman kopi arabika (coffea arabica L.) bagaikan bagian dari anggota keluarga. Tanaman ini begitu disayangi, dimanjakan, dipangkas bahkan dipayungi dengan naungan pohon lamtoro. Rasa sayang itu tidak terlepas dari keinginan agar tanaman kopi tumbuh subur dan produktif sehingga menghasilkan buah segar yang ranum. Buah segar yang masak sempurna akan menghasilkan kopi arabika dengan cita rasa dan aroma tinggi.

Perjalanan kopi arabika ke Dataran Tinggi Gayo sudah hampir seabad. Surip Mawardi (2008:3) menulis bahwa tanaman kopi arabika telah dimasukkan dan dibudidayakan di Indonesia tepatnya di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Dataran Tinggi Gayo, Belanda mulai membudidayakan perkebunan kopi arabika di Paya Tumpi pada tahun 1924 setelah jalan Bireuen-Takengon selesai dibangun pada tahun 1913.

Pada awalnya, konsentrasi budidaya tanaman kopi arabika berada di kawasan Timang Gajah dan Lampahan, sekitar Takengon hingga Burni Bius, termasuk disekitar Redelong. Perluasan areal tanaman kopi arabika sangat lambat, disebabkan kawasan Dataran Tinggi Gayo saat itu masih terisolir sehingga ongkos angkut relatif mahal. Namun, setelah tahun 1930, kopi arabika menjadi komoditi penting bagi perekonomian rakyat.

Disamping sebagai sebuah komoditi penting, kopi arabika juga merupakan bahan baku utama cafe dan kedai kopi seperti Starbucks, Costa Coffee, Einstein Cafe dan cafe-cafe top lainnya di Benua Eropa dan Amerika. Tepatlah jika kopi arabika menjadi komoditi ekspor yang paling diminati masyarakat dunia. Lebih-lebih saat beberapa negara penghasil kopi di Amerika Selatan mengalami gagal panen, tentu permintaan kopi arabika dari Dataran Tinggi Gayo terus meningkat sampai akhirnya persediaan kopi siap ekspor makin tipis.

Permintaan terhadap bahan baku cafelate ini datang dari hampir seluruh penjuru dunia bahkan dengan harga yang cukup mahal. Dampaknya, harga jual green bean (kopi biji) terus naik terutama untuk kopi organik. Sayang, masa panen telah berakhir sehingga petani kopi Dataran Tinggi Gayo tidak sepenuhnya bisa menikmati rezeki kopi. Harian Serambi Indonesia (27/5) melaporkan bahwa dalam triwulan I tahun 2011, nilai ekspor kopi arabika dari Tanoh Gayo sudah mencapai US$ 7,1 juta.

Begitu dahsyatnya efek ekonomi kopi, Equador sebuah negara kecil di Amerika Selatan berani menabalkan negaranya sebagai “Negara Kopi,” karena hampir seluruh rakyatnya menggantungkan hidupnya dari tanaman kopi. Begitu juga Chiapas, salah satu provinsi di Selatan Mexico bahkan bergabung dalam konsep kopi konservasi atau kopi berkelanjutan supaya nilai jual komoditinya makin mahal dan dapat memperoleh kontribusi serapan karbon.

Bila demikian, Dataran Tinggi Gayo yang memiliki lahan kopi seluas 48.000 hektar di Aceh Tengah, 39.490 hektar di Bener Meriah, dan 7.800 hektar di Gayo Lues, mungkinkah disebut sebagai “Negeri Kopi konservasi?” Untuk melihat pengelolaan dan budidaya tanaman kopi yang dapat digolongkan dalam kopi konservasi, terdapat 8 (delapan) indikator pengelolaan kopi berkelanjutan.

Pertama: pengolahan kopi secara organik adalah budidaya kopi tanpa menggunakan bahan kimia. Kedua: intensifikasi lahan dan manajemen budidaya kopi secara intensif. Ketiga: kebun kopi memiliki naungan yang baik. Keempat: menggunakan pupuk kompos. Kelima: menggunakan musuh alami/predator atau perangkap untuk hama pengganggu tanaman kopi. Keenam: tidak menggunakan bahan herbisida dan pestisida kimia atau pupuk kimia. Ketujuh: tidak membakar lahan pada pembukaan lahan baru. Kedelapan: tidak membuka areal perkebunan di kawasan hutan (Mustafa Ali, 2011).

Mengapa kopi konservasi menjadi begitu penting pada saat ini? Dr. Ir. Ashabul Anhar MSc (2011) mengungkapkan bahwa dari analisis data iklim Aceh Tengah tahun 2011 telah terjadi perubahan suhu sejak dari tahun 1940 ke tahun 2009 sebesar 2,62ºC atau 0.05ºC per tahun. Efek kenaikan suhu menyebabkan fauna yang hidup didaerah pegunungan akan migrasi ke daerah yang lebih tinggi. Sementara spesies yang tinggal di puncak gunung akan mengalami kepunahan. Kemudian, timbul jenis-jenis penyakit/hama baru pada tanaman kopi yang disebabkan oleh iklim antara lain karat daun, penggerek buah dan penggerek batang.

Sebagaimana diketahui bahwa dampak perubahan iklim itu akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca. Solusi menghadapi kondisi ini dengan mitigasi yaitu menyimpan karbon di lahan, dan melakukan adaptasi. Teknisnya dengan menggunakan spesies atau varietas yang toleran terhadap panas, mengurangi resiko kebakaran, hama dan banjir. Meningkatkan bahan organik tanah serta praktik agroforestri.

Tanaman kopi yang tinggi batangnya bisa mencapai 9 meter, sangat layak menjadi tanaman agroforestri. Tanaman kopi juga dipercaya memiliki kemampuan sangat baik dalam menyerap gas karbon untuk diubah menjadi oksigen. Menurut Mustafa Ali (2011) bahwa estimasi serapan karbondioksida oleh tanaman kopi adalah 25 ton/hektar/tahun. Lebih-lebih dalam 1 hektar jumlah tegakan tanaman kopi dan naungannya mencapai 1.300 pohon, klop sebagai tanaman agroforestri.

Bila ingin menyaksikan “permadani” tanaman kopi kunjungilah Dataran Tinggi Gayo, sekaligus dapat mencoba menghitung serapan karbonnya. Misalnya, di Aceh Tengah terdapat kebun kopi seluas 48.000 hektar, estimasi serapan karbonnya diperkirakan mencapai 1.200.000 ton CO² per tahun, di Bener Meriah kebun kopinya seluas 39.490 hektar yang estimasi serapan karbonnya mencapai 987.250 ton CO² per tahun dan Gayo Lues yang kebun kopinya seluas 7.800 hektar, estimasi serapan karbonnya sebanyak 195.000 ton CO² per tahun.

Para petani kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo yang berjumlah 66.101 KK tidak pernah menyadari bahwa aktivitas ekonominya menjadi bagian dalam upaya mengurangi konsentrasi gas rumah kaca. Pekerjaan merawat tanaman kopi beserta pohon pelindung ternyata telah berhasil menyerap karbon sebanyak 2.382.250 ton CO² per tahunnya. Tanpa kontribusi dari serapan karbon ini saja mereka begitu serius, bayangkan jika serapan karbon itu dibayar sebagaimana isu global yang berkembang akhir-akhir ini.

Bisa dibayangkan pula, dengan makin membaiknya harga kopi dunia dan meningkatnya permintaan kopi organik tentu para petani bertambah serius untuk menanami lahan terlantar dan kritis dengan tanaman kopi arabika. Dipastikan angka serapan karbon dari tanaman kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo akan terus meningkat seiring dengan berkurangnya lahan kritis.

Oleh karena itu, terbitnya Indikasi Geografis (IG) untuk kopi arabika gayo merupakan momentum strategis yang dapat memacu petani kopi dalam melakukan intensifikasi perawatan dan peningkatan kualitas produk. Demikian pula para pihak yang terkait dengan pemasaran dan penggunaan produk kopi arabika gayo haruslah mengapresiasi kerja keras petani kopi di Dataran Tinggi Gayo dengan memberi harga yang tinggi dan layak untuk produk para petani. Dengan apresiasi yang positif dari para pembeli kopi arabika gayo, diyakini bahwa para petani makin telaten merawat tanaman kopinya, malah sangat mungkin kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo akan mendapat label baru sebagai “kopi konservasi.”

Lebih-lebih bila serapan CO² sebesar 25 ton/hektar/tahun dihargai oleh konsumen dan masyarakat dunia, jalan menuju ke “kopi konservasi” akan makin terbuka. Mereka akan lebih bahagia mengais rezeki dari bumi yang lestari, bumi yang ekosistemnya terjaga, bumi yang kaya akan flora dan fauna. Barangkali sudah menjadi kodrat petani kopi Dataran Tinggi Gayo yang sejak dahulu menggantungkan hidupnya dari hutan yang lestari.

Dengan demikian, kepada para petani perlu ditingkatkan pengetahuan dibidang teknik pertanian organik, dibantu tambahan bibit pohon pelindung, didorong untuk bergabung dalam kelompok petani kopi, dimotivasi untuk melakukan konservasi hutan sekitarnya, dan diajarkan cara-cara memelihara sumber air. Untuk ini, perlu komitmen dan peranserta semua pihak, terutama mereka yang concern terhadap konservasi, termasuk para penikmat ”kopi konservasi.” Pada akhirnya petani dapat mencari rezeki tanpa harus merusak bumi yang lestari!

*Karya seorang pemerhati Kopi Gayo, Berdomisili di Takengon Kabupaten Aceh Tengah ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel dan Photo Lingkungan Walhi Aceh 2011 yang bertema “Sejahtera Tanpa Merusak”

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.